Minggu, 30 November 2014

Makalah Pancasila

Edit Posted by with No comments


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 1
PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN ................................................  2
            1. Sistem Ketaatan Dalam UUD 1945 .........................................................................  2
            2. Bagaimana Bentuk Realisasi HAM berdasarkan Pancasila ....................................  4
            3. Reformasi Hukum Tata Negara Dalam Kerangka UUD 1945 ….......….…………. 8
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA BERBANGSA DAN BERNEGARA ....…........... 9
            1. Pengertian Paradigma .............................................................................................. 9
            2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan ......................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................………......................... 12
















1.    PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN
1.     Sistem Ketaatan dalam UUD’45
Berdasarkan undang – undang dasar 1945 sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
2.      Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
3.      Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat.
4.      Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR. Dalam menjalankan pemerintahan Negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan prsiden.
5.      Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang – undang dan untuk menetapkan anggaran dan belanja Negara.
6.      Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan mentri Negara.Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7.      Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan dengan sungguh – sungguh usaha DPR.
Kekuasaan pemerintahan Negara Indonesia menurut undang–undang dasar 1 sampai dengan pasal 16.pasal 19 sampai dengan pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), serta pasal 24 adalah:
1.      Kekuasaan menjalan perundang – undangan Negara atau kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh pemerintah.
2.      Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah atau kekuasaan konsultatif yang dilakukan oleh DPA.
3.      Kekuasaan membentuk perundang – undang Negara atau kekuasaan legislatif yang dilakukan oleh DPR.
4.      Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara atau kekuasaan eksaminatif atau kekuasaan inspektif yang dilakukan oleh BPK.
5.      Kekuasaan mempertahankan perundang – undangan Negara atau kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA.
Berdasarkan ketetapan MPR nomor III / MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga tertinggi Negara dengan atau antara Lembaga – lembaga Tinggi Negara ialah sebagai berikut:
1.      Lembaga tertinggi Negara adalah majelis permusyawaratan rakyat. MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara dengan pelaksana kedaulatan rakyat memilih dan mengangkat presiden atau mandataris dan wakil presiden untuk melaksanakan garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan putusan – putusan MPR lainnya.MPR dapat pula diberhentikan presiden sebelum masa jabatan berakhir atas permintaan sendiri, berhalangan tetap sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, atau sungguh – sungguh melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR.
2.      Lembaga – lembaga tinggi Negara sesuai dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 ialah presiden (pasal 4 – 15), DPA (pasal 16), DPR (pasal 19-22), BPK (pasal 23), dan MA (pasal 24).
a.       Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR. Dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden atas nama pemerintah (eksekutif) bersama – sama dengan DPR membentuk UU termasuk menetapkan APBN. Dengan persetujuan DPR, presiden dapat menyatakan perang.
b.      Dewan pertimbangan Agung (DPA) adalah sebuah bahan penasehat pemerintah yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presien. Selain itu DPA berhak mengajukan pertimbangan kepada presiden.
c.       Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh masyarakat berkewajiban selain bersama – sama dengan presiden membuat UU juga wajib mengawasi tindakkan – tindakan presiden dalam pelaksanaan haluan Negara.
d.      Badan pemeriksa keuangan (BPK) ialah Badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.BPK memriksa semua pelaksanaan APBN.Hasil pemeriksaannya dilaporkan kepada DPR.
e.       Mehkamah Agung (MA) adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya. MA dapat mempertimbangkan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak diminta kepada kepada lembaga – lembaga tinggi Negara.


2.     Bagaimana Bentuk Realisasi HAM berdasarkan Pancasila?
Di era globalisasi ini hak asasi manusia mendapat sorotan tajam dari dunia internasional. Indonesia menjadi satu diantara Negara-negara yang sering menjadi target aktivis HAM dunia akibat adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat asasi. Lalu bagaimana dasar Negara Pancasila menjamin hak asasi manusia di tanah air?
Manusia adalah mahluk Tuhan yang merupakan mahluk pribadi dan sekaligus mahluk sosial. Artinya manusia yang merupakan pribadi harus hidup bersama –sama dengan sesama manusia. Tidak mungkin manusia hidup sendiri tanpa bantuan dan kerjasama dengan manusia lainnya.
Manusia adalah pribadi artinya manusia adalah subyek yang berdiri sendiri, yang mampu mengerti dan menentukan sikap terhadap diri sendiri dan terhadap obyek di sekitarnya, dan di alam semesta.Manusia sebagai mahluk pribadi dan sosial mengembangkan jasmani dan rohaninya dengan melakukan perbuatan dalam kehidupan bersama sesama manusia.
Untuk dapat hidup dan menjaga kelangsungan hidupnya manusia oleh sang Pencipta dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan cipta, rasa dan karsa dan hak-hakserta kewajiban-kewajiban asasi.Hak-hak asasi manusia secara universal juga mendapat tempat dalam dasar Negara RI. Bentuk konkret realisasi hak asasi manusia dalam konsep hidup berdasarkan Pancasila, yakni :
a.       Hak asasi manusia bersumber langsung pada Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena manusia mendapat bebas untuk beribadah menurut agama dan keyakinan masing-masing dan dilindungi negara.
b.      Tuhan menciptakan manusia yang dibekali dengan kemampuan dan hak asasi serta kewajiban-kewajiban asasi untuk dapat hidup dan menjaga kelangsungan hidupnya serta mencapai tujuan hidupnya secara beradab.
c.       Tuhan menghendaki manusia hidup dalam kebersamaan, Tidak mungkin manusia hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu manusia harus mampu bersatu dan menjaga hubungan harmonisasi dengan sesamanya.
d.      Hak berpendapat dan menyampaikan keinginan setiap insan dikelola secara perwakilan dan setiap keputusan adalah hasil dari musyawarah untuk mufakat.
e.       Manusia berhak mendapat keadilan yang sama tanpa pandang bulu, untuk mendapat kesejahteraan dan kemakmuran hidup. Oleh sebab itu hak asasi manusia wajib diletakkan dalam kerangka kebersamaan hidup.Inilah konsep berdasarkan Pancasila.

Dalam Orde Reformasi ini, sikap dan tekad Orde Baru perlu ditinjau kembali agar dapat dilakukan reformasi konstitusi.Sepanjang mengenai Pancasila sebagai dasar negara tidak ada persoalan karena sejak proklamasi hingga kini terus dicantumkan dalam Pembukaan UUD, baik UUD 1945, UUD RIS 1949 maupun UUDS 1950, meskipun peristilahan ataupun rumusannya agak berbeda.Mengganti UUD 1945 bukan berarti semua bagiannya harus dibuang.Bagian Pembukaan dapat saja dipertahankan. Mengenai pendapat agar UUD 1945 dipertahankan keasliannya dengan menambahkan amandemen-amandemen, seperti UUD Amerika Serikat, perlu disadari bahwa kita tidak mempunyai naskah asli UUD 1945. Era reformasi sekarang ini merupakan momentum yang baik untuk melakukan pembaharuan Undang-Undang Dasar, yaitu mengganti UUD 1945 dengan UUD baru yang memenuhi  tuntutan zaman.
MPR/DPR
Berbicara tentang reformasi hukum, yang tersebar dalam berbagai peraturan per­undang-undangan, dengan sendirinya kita mengacu kepada Undang-Undang Dasar. Seperti dikatakan oleh Assaat, mantan pejabat presiden dari negara bagian Republik Indo­nesia:
“Undang-Undang Dasar dari suatu negara adalah dasar dari segala hukum yang berlaku dalam negara itu.Semua peraturan yang berlaku buat umum harus berdasarkan pasal-pasal Undang-Undang Dasar, secara langsung atau bertingkat.Sesuatu peraturan yang bertentangan dengan undang-undang dasar tidaklah syah adanya”.
Beliau mengatakan lebih lanjut :
“Undang-Undang Dasar adalah induk dari segala peraturan.Oleh sebab itu Undang-Undang Dasar ditetapkan oleh kekuasaan yang tertinggi dalam negara.Dalam negara yang demokratis Undang-Undang Dasar itu ditetapkan oleh rakyat dengan perantaraan badan perwakilannya. Dalam negara kita ini oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, yakni menurut pasal 3 Undang-Undang Dasar Proklamasi.
Ide perubahan terhadap UUD 1945 selalu melahirkan kutub-kutub perbedaan antara yang pro dan yang kontra.Mungkinkah merubah UUD 1945.Pasal 37 UUD 1945 menegaskan bahwa wewenang untuk merubahnya ada di tangan MPR. Namun demikian bagaimana cara atau sistem merubahnya. Pasal 37 UUD 1945 hanya memberi peluang untuk mengubah bukan menganti UUD 1945. Karena itu dari sudut pandang Hukum Tata Negara, reformasi UUD 1945 dapat ditempuh dengan cara pembuatan amandemen-amandemen bukan dengan cara mengganti UUD 1945.
Setelah lebih tiga dasawarsa (1966-1998) rejim Orde Baru berkuasa di panggung politik ketatanegaraan Indonesia, pada akhirnya sejarah mencatat yang sama seperti yang dialami Orde lama pada tahun 1966, Orde Baru pada penghujung Mei 1998 runtuh ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatan kepresidenan. Mundurnya Soeharto dari singgasana kepresidenan merupakan prasyarat utama sebuah reformasi.
Semangat reformasi telah menjadi per­juangan dalam rangka membangun kembali kehidupan yang lebih adil, berdaulat, konsti­tusional, demokrasi dan berdasarkan hukum yang telah dirampas dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Gema reformasi telah menggetarkan hampir semua sendi-sendi kehidupan ber­bangsa dan bernegara.MPR dan DPR, MA dan DPA didesak untuk direformasi.
Lembaga pemerintah dituntut untuk me­lakukan gerakan reformasi secepatnya.Bahkan gerakan reformasi mulai menyentuh aspek fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni sumber utama hukum tata negara Indonesia UUD 1945.
Karena itu hemat penulis sebelum kita membahas reformasi Hukum Tata Negara perlu terlebih dahulu kita meningkatkan pemahaman kita pada dasar-dasar sistem ketatanegaraan yang telah kita anut yakni Pancasila dan UUD 1945.


a.      UUD 1945 dan Dinamika Masyarakat
UUD 1945 seperti kita ketahui bersama, dirancang dan dirumuskan oleh tokoh-tokoh bangsa pendiri negara yang terwadahi dalam BPUPKI dan PPKI. Sekitar bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus 1945 tokoh-tokoh bangsa itu sebagai anggota BPUPKI dan PPKI dalam suasana yang diliputi beberapa perbedaan pandangan mendasar diantara mereka, akhirnya memperoleh kesepakatan yang merupakan konsensus nasional pertama bang­sa Indonesia yaitu ditetapkannya dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
Konsensus nasional tersebut merupakan hasil puncak yang gemilang sebagai perjanjian yang luhur bangsa Indonesia pada waktu mendirikan negara Indonesia.
Apabila kita mengkaji persidangan BPUPKI dan PPKI maka dapat kita ketahui, para perancang UUD 1945 tersebut dengan sengaja menyusun UUD 1945 secara “singkat” dan “soepel”, agar UUD itu menjadi acuan yang mantap dalam masyarakat yang tumbuh dinamis. Artinya agar UUD 1945 dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat.
Dengan demikian UUD 1945 sebagai landasan ketatanegaraan kita diharapkan dapat menyongsong kehidupan bangsa dan negara Indonesia pada masa mendatang. Dalam kaitan itu ada baiknya penulis mengutip Penjelasan UUD 1945 sebagai berikut:
“maka telah cukup jika Undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat Garis-garis Besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat,... sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut”.
Kalimat tersebut di atas perlu kita kaitkan dengan alinea yang menyusulnya, yang berfungsi sebagai berikut: “yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan...”.
Demikian ketentuan yang ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 tentang sangat dimungkinkannya UUD 1945 mengikuti perkembangan zaman.Para pendiri negara kita membedakan antara hukum dasar tertulis yang hanya memuat aturan-aturan pokok dengan undang-undang yang memuat aturan penyelenggaraan.Para pendiri negara juga menekankan pentingnya etika politik dan etika moral penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan, sebagai unsur dinamis yang bergandengan dengan hukum dasar tertulis itu sendiri. Karenanya apa yang harus dipertahankan adalah nilai-nilai dasarnya (hukum dasar), sedangkan implementasinya, yakni nilai instrumental (dalam bentuk undang-undang) harus dinamis, artinya dapat selalu berubah sesuai dengan dinamika masyarakat, dengan kondisi yang ada, misalnya dalam suasana tuntutan reformasi sekarang kita dapat merubah seperangkat undang-undang yang menyelenggarakan ketentuan UUD 1945, seperti undang-undang pemilu, undang-undang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, Undang-undang Sistem Kepartaian, Undang-undang Pemerintahan di Daerah, Undang-undang Keormasan, Undang-undang Pokok Kepegawaian, dan sebagainya.
Itulah sebenarnya strategi kita ke depan dalam rangka pemahaman kita lebih lanjut tentang UUD 1945 yang bersifat “singkat” dan “soepel” yang dapat menjadi acuan yang mantap dalam masyarakat Indonesia yang tumbuh dinamis.
Dari apa yang dijelaskan di atas, dimaksudkan agar kita memahami nilai dasar dari UUD 1945 tetap kita pertahankan, namunpenjabarannya dapat dikembangkan secara kreatif dan dinamis dengan berbagai undang­-undang sesuai dengan perkembangan za­man dan dinamika masyarakat, terlebih-lebih di era reformasi ini.

b.      Materi Muatan UUD 1945
Sebagian telah dikemukakan di atas, konstitusi kita UUD 1945 merupakan hasil pemikiran prima para pendiri negara yang tergabung dalam BPUPKI dan PPKI.Dalam wadah BPUPKI dan PPKI tersebut, para pemimpin kita mengemukakan pikiran dan pendapatnya sebagai pejuang dan pemim­pin rakyat yang belum diwarnai oleh pemi­kiran-pemikiran politik praktis, sehingga mereka dapat berbicara dalam kapasitas sebagai negarawan. Dalam suasana persi­dangan yang sangat terbuka dan toleran itu para negarawan tersebut mengutarakan wawasannya mengenai negara yang akan dibentuk dan undang-undang dasar yang akan dirumus.
Apabila kita mau membaca dan men­dalami risalah sidang BPUPKI serta PPKI antara bulan Mei sampai Agustus 1945, ma­ka dalam kalimat pidato para pendiri negara tersebut, kita bisa merasakan getaran ke­cintaan yang amat dalam dan tanggung­jawab yang amat besar terhadap bangsa dan negara yang akan didirikan itu.
Karena itu pulalah negarawan-negara­wan tersebut bersikap bijaksana untuk tidak mengatur sampai detail apa yang harus di­lakukan oleh generasi penerus bangsa di masa depan. Secara sadar para pendiri ne­gara membuat dan merumuskan konstitusi negara UUD 1945 pada “aturan-aturan po­kok”.
Kendatipun UUD 1945 membatasi diri pada “aturan-aturan pokok”, tidak berarti UUD 1945 tidak mengatur hal-hal prinsipal seba­gaimana layaknya konstitusi modern de­wasa ini.
Para pendiri negara kita telah berfikir luas, sehingga saat itu Muhammad Hatta menyatakan bahwa Undang-undang Dasar yang sedang disusun itu adalah Undang-un­dang Dasar yang modern.
Sampai sekarangpun dan juga yang akan datang kalau kita ingin jujur kita bisa menyatakan bahwa UUD 1945 itu modern, karena memberi peluang untuk dinamika di samping berisi tentang muatan materi yang antara lain menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Menurut Sri Sumantri, dengan mengutip JG. Steenbeek Undang-undang Dasar Mod­ern, berisi tiga pokok materi muatan 4 yaitu: pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Kedua, ditetapkannya su­sunan ketatanegaraan suatu negara yang fundamental.Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan kekuasaan.
Dengan demikian apa yang diatur dalam setiap Undang-undang dasar merupakan penjabaran ketiga materi muatan pokok tersebut.
Dewasa ini di era reformasi salah satu tuntutan adalah masalah yang mengenai pembatasan kekuasaan, dan ujung-ujungnya menyangkut UUD 1945, seakan-akan UUD 1945 tidak mengatur materi pembatasan kekuasaan, karena itu UUD 1945 perlu direformasi.
Karena itu untuk membuktikan bahwa UUD 1945 mengatur tentang ketiga materi muatan tersebut perlu dikemukakan pasal-pasal dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengannya.

c.       Adanya Jaminan HAM
UUD 1945 bila dikaji baik pembukaan, Batang tubuh, dan penjelasan akan disarikan setidaknya 15 prinsip hak asasi manusia, yaitu (1) hak menentukan nasib sendiri (alenia 1 Pembukaan); (2) Hak akan warga negara (pasal 26); (3) hak akan kesamaan dan persamaan di depan hukum (pasal 27 ayat 1); (4) hak untuk bekerja (pasal 27 ayat 2); (5) hak akan hidup layak (pasal 27 ayat 2); (6) hak berserikat (pasal 28); (7) hak menyatakan pendapat (pasal 28); (8) hak beragama (pasal 29); (9) hak untuk membela negara (pasal 30); (10) hak untuk pendiri (pasal 31); (11) hak akan kesejahteraan sosial (pasal 33); (12) hak akan jaminan sosial (pasal 34); (13) hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan (penjelasan pasal 24 dan 25); (14) hak mempertahankan tradisi budaya (penjelasan pasal 32); (15) hak mem-pertahankan bahasa daerah (penjelasan pasal 31).
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, kita tidak perlu buru-buru menafsirkan bahwa UUD 1945 itu kurang menghargai hak-hak asasi manusia, lantas karenanya perlu direformasi.Persoalan kita pada saat ini adalah pada tataran operasional, yaitu sejauh mana hukum positif Indonesia dilaksanakan untuk melindungi hak-hak asasi manusia.dewasa ini dalam banyak produk perundangan, hal ini bisa kita temui, baik produk perundangan yang menyangkut hak-hak sipil maupun hak-hak politik.
Tuntutan reformasi sebenarnya lebih mangacu pada tataran operasional, yakni perbaikan kondisi hak-hak sipil dan politik yang diakui dalam UUD 1945 yakni meliputi sebagai berikut yaitu: 1). Hak-hak Sipil meliputi: hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, hak untuk bebas dari penyiksaan dan penganiayaan, hak atas bantuan hukum, hak atas peradilan yang fair dan tidak memihak. 2). Hak-hak Politik meliputi: hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berserikat, hak untuk diperlakukan sama di depan hukum dan pemerintah, hak untuk turut serta dalam a free election.
Dalam konsep UUD 1945 hak-hak sipil dan hak-hak politik tidak dapat dipisahkan.Tanpa adanya penghormatan terhadap hak-hak sipil mustahil rakyat dapat hak-hak politiknya.
Perbaikan kondisi hak-hak sipil dan politik harus menjadi agenda utama reformasi.tegasnya reformasi tentang hak-hak sipil dan politik ini adalah lewat seperangkat Undang-undang bukan dengan jalan mereformasi nilai dasarnya yakni kerangka UUD 1945. Karena itu dalam praktek ketatanegaraan dibutuhkan political will yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan penyelenggaraan negara untuk menghargai dan menghormati hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

d.      Susunan Ketatanegaraan yang Fundamental
Susunan atau struktur ketatanegaraan dalam UUD 1945 meliputi supra struktur politik maupun infra struktur politik. Mengenai supra struktur politik di samping diatur dalam beberapa pasal UUD 1945 juga ditemukan dalam penjelasan UUD 1945, yakni tentang sistem pemerintahan negara yang terdiri dari tujuh kunci pokok, secara berturut-turut; (1) negara hukum; (2) negara konstitusional; (3) kekuasaan tertinggi adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR; (4) Presiden adalah penyelenggara peme­rintahan negara tertinggi di bawah MPR; (5) Presiden tidak bertanggungjawab terhadap DPR; (6) Menteri-menteri adalah pembantu Presiden; dan (7) Kekuasaan Presiden tidak terbatas. Dengan demikian dari tujuh kunci pokok tersebut, empat diantaranya berkenaan dengan Presiden, satu DPR dan satu tentang MPR.Ketiga supra struktur politik itulah pada hakikatnya inti dari sistem pemerintahan menurut UUD 1945.Karena itu pula peran dari MPR, DPR dan Presiden sebagai supra struktur politik dalam sistem UUD 1945 sangat menentukan dalam rangka mencapai tujuan negara.
Apabila salah satu di antaranya berperan tidak semestinya maka mesin pemerintahan negara akan pincang sebagaimana kita saksikan selama tiga dasa warsa ini.
Kepincangan ini dapat kita lihat betapa dominannya Presiden di satu pihak dan lemahnya DPR dan MPR di pihak lain. Maka adalah logis apabila tuntutan tentang revita­lisasi DPR, MPR begitu bergema di era reformasi sekarang ini. Tuntutan reformasi itu antara lain merubah undang-undang ten-tang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD, merubah undang-undang Pemilu dsb.
Sedangkan infra struktur politik satu negara pada umumnya terdiri dari lima komponen politik, yaitu partai politik, golongan kepentingan, golongan penekan (presure group). Alat komunikasi politik dan tokoh politik (political figure).Tentang infra struktur politik ini diatur dalam pasal 28 UUD 1945.Banyak persoalan pokok menyangkut persepsi dan pemahaman tentang berbagai segi kehidupan kenegaraan mengenai infra struktur politik di masa lalu antara lain, ma­salah kebebasan berbicara dan menge­mukakan pendapat, kebebasan pers, hak berserikat, masalah demokrasi dan demo­kratisi, peranan partai politik, ABRI dan lain sebagainya.
Karena itu era reformasi ini banyak kon­sep perlu ditinjau kembali dikaji ulang dan direformasi karena memang keliru dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, seperti UU tentang sistem kepartaian, undang-undang keormasan, undang-undang pokok pers dan lain-lain sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 28 UUD 1945.

e.       Pembatasan Kekuasaan
Pendiri negara Republik Indonesia cukup menyadari untuk apa undang-undang dasar ditetapkan. Tidaklah berlebihan apabila kita mengatakan bahwa UUD 1945 dengan se­ngaja ditetapkan untuk membatasi kekuasaan yang terdapat dalam negara, dan juga se­bagai konsekuensi adanya negara.
Secara teoritis pembatasan kekuasaan itu melingkupi antara lain: (1) Periodisasi kekuasaan; (2) Pengawasan kekuasaan; (3) pertanggungjawaban kekuasaan.
Apabila kita berbicara soal pembatasan periodisasi kekuasaan maka kita akan memperoleh isyarat adanya mekanisme lima tahunan kekuasaan dalam UUD 1945.
Siklus atau mekanisme kekuasaan lima tahunan ini dalam praktek ketatanegaraan menurut UUD 1945 dapat diuraikan sebagai berikut: 1). Rakyat mengadakan pemilihan umum membentuk MPR/ DPR setiap limatahun sekali; 2). MPR menetapkan GBHN sebagai pedoman operasional kegiatan kenegaraan untuk jangka waktu lima tahun; 3). MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk periode waktu lima tahun (pasal 7);  4). DPR mengawasi jalan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden dalam jangka waktu lima tahun (Penjelasan UUD 1945);  5). Presiden memberikan pertanggungjawaban akhir masa jabatan lima tahunan pada MPR;  6). Rakyat kembali mengadakan pemilihan umum untuk membentuk MPR (rangkaian kegiatan berulang kembali sebagai realisasi proses pereodesasi ke-kuasaan lima tahun).
Dari siklus di atas, ternyata dalam UUD 1945 supra struktur politik Indonesia intinya adalah pada tiga lembaga negara yaitu MPR, DPR dan Presiden. Namun demikian kekuasaan Presiden atau kekuasaan eksekutif sangat menonjol dalam UUD 1945,6 seperti: presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR; Presiden ialah penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah MPR; presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan DPR; presiden memegang kekuasaan atas angkatan darat, laut dan udara (kekuasaan militer); presiden memegang kekuasaan diplomatik; presiden menyatakan keadaan bahaya, dan lain sebagainya.
Dengan demikian konsentrasi kekuasaan menurut UUD 1945 memang ditangani Presiden.Namun demikian apakah ruang lingkup kekuasaan Presiden tidak terdapat pembatasan, sangat dominannya kekuasaan Presiden sehingga terkesan diktator merupakan salah satu alasan mengapa UUD 1945 perlu direformasi.Kekuasaan Presiden sangat besar dan luas memang harus diakui, tetapi itu bukan berarti kekuasaan tersebut tidak terbatas.Pembuktian adanya tentang pembatasan kekuasaan Presiden dapat kita lihat pada Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara Angka VII yang menyatakan “kekuasaan Kepala Negara tak terbatas”.
Sekalipun Presiden menurut UUD 1945 (sistem Pemerintahan Negara Angka Romawi V) tidak bertanggungjawab kepada DPR, akan tetapi ia sebagai Mandataris MPR adalah tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Di samping itu pula fungsi pengawasan dari DPR terhadap Presiden, inipun membatasi kekuasaan Presiden. Di dalam pengawasannya jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungjawaban kepada Presiden.
Dengan argumentasi konstitusional tersebut di atas, maka sebenarnya UUD 1945 telah mengatur materi muatan mengenai pembatasan kekuasaan. Dewasa ini ternyata masalah pembatasan kekuasaan telah menjadi isu perlunya reformasi UUD 1945.

2.    PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA BERBANGSA DAN NEGARA
1.     Pengertian Paradigma
Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam filsafat ilmu pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul “The Structure Of Scientific Revolution”, paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigm sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut.

2.     Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
1.      Pancasila Sebagai Pembangunan IPTEK
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakekatnya merupakan hasil kreatifitas rohani (jiwa) manusia.Atas dasar kreatifitas akalnya, manusia mengembangkan IPTEK untuk mengolah kekayaan alam yang diciptakan Tuhan YME.
Tujuan dari IPTEK ialah untuk mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabat manusia, maka IPTEK pada hakekatnya tidak bebas nilai, namun terikat nilai – nilai.Pancasila telah memberikan dasar nilai – nilai dalam pengembangan IPTEK, yaitu didasarkan moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.      Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Poleksosbudhankam
Pembangunan nasional dirinci diberbagai bidang antara lain politok, ekonomi, social budaya, pertahanan dan keamanan yang penjabarannya tertuang pada GBHN. Pembangunan yang sifatnya humanitis dan pragmatis harus mendasarkan pada hakekat manusia sebagai pelaksana sekaligus tujuan pembangunan, sebagai pengembangan Poleksosbudhankam, maka pembangunan pada hakekatnya membangun manusia secara utuh, secara lengkap, meliputi seluruh unsure hakekat manusia yang monopluralis.
3.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik.Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat.Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan politik, artinya bahwa nilai-nilai pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia diimplementasikan sebagai berikut :

·         Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya agama dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.

·         Mendahulukan kepentingan rakyat/demokrasi dalam pengambilan keputusan.

·         Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan perioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan bangsa.

·         Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.

·         Nilai-nilai kejujuran, toleransi harus bersumber pada nilai-nilai ketuhanan YME.

4.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Ekonomi

Diartikan sebagai pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja, tetapi demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa, didasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa. Menurut Mubyarto, pengembangan ekonomi tidak bias dipisahkan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan, ekonomoi kerakyatan yaitu ekonomi yang humanistic dengan mendasar pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas.

Tujuan ekonomi untuk memmenuhi kebutuhan manusia agar lebih sejahtera, maka ekonomi harus menghindarkan diri dari persaingan bebas, dari monopoli, ekonomi harus menghindari yang menimbulkan penderitaan manusia dan yang menimbulkan penindasan manusia satu dengan yang lain.

5.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Sosial Budaya

Mengandung pengertian bahwa pancasila adalah etos budaya persatuan dalam masyarakat majemuk.Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 45 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi perioritas, karena kebudayaan nasional diperlukan sebagai landasan atau media sosial yang memperkuat persatuan.

Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam dari seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.

Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa.Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kecemburuan, kesenjangan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.

6.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Hankam

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).

8.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembaharuan Hukum dan Pengembanggan HAM

Produk hukum baik materi maupun penegakkannya semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan. Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berfikir, sumber nilai dan sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia, sehi Indonesia, sehinggga fungsi pancasila sebagai paradigma hukum atau berbagai pembaharuan hukum di Indonesia.

Produk hukum dapat berubah dan diubah sesuai perkembangan zaman, perkembangan iptek dan perkembangan aspirasi rakyat, namun sumber nilai (nilai – nilai Pancasila) harus tetap tidak beru harus tetap tidak berubah.

Pancasila sebagai paradigma pembaharuan hukum merupakan sumber norma dan sumber nilai, bersifat dinamik nyata ada dalam masyarakat, baik menyangkut aspirasinya, kemajuan peradabannya maupun kemajuan ipteknya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, didalam konsideransinya yang dimaksud HAM ialah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Lebih lanjut UU tersebut menegaskan, demi tegaknya hak asasi manusia, maka semua bentuk pelanggaran HAM yang dapat diilakukan oleh perorangan, kelompok yang termasuk penguasa Negara dan aparat Negara baik yang disengaja maupun tidak sengaja harus dihindari.





















DAFTAR PUSTAKA